Jumat, 22 Februari 2019
I
had a small surgery yesterday.
Now,
this was a new experience for me. Takut mampus sama jarum, seumur hidup ga
pernah diinfus, ga pernah opname, dan tiba-tiba aja dokternya bilang, “Ini
harus dioperasi.”
Wah.
Jadi begini awal mulanya. Beberapa
bulan yang lalu aku kena sariawan di bawah lidah, dan yah typical me, aku
cuek-cuek saja. No medicine, no vitamin C, nothing. Soalnya aku tidak mau
tergantung dengan obat-obatan. Aku percaya tubuh manusia pasti bisa
menyembuhkan dirinya sendiri, dan kurasa dengan makan makanan yang sehat pasti
sudah cukup.
Sariawannya ini membesar dan
mengecil secara berkala dan lama kelamaan rasanya tidak sakit lagi, tapi tetap tidak
hilang-hilang. Besarnya seperti sebutir merica. Sangat menganggu dan
menyebalkan, menerorku selama kurang lebih dua bulan. Karena curiga ini bukan
sariawan biasa, maka aku berniat untuk memeriksakannya ke dokter.
Hari Selasa sore tanggal 19, aku
sempat meeting dengan anggota event Lovdon. Sempat hujan juga, jadi kami
menghabiskan senja itu nge-roasting satu sama lain ditemani pelangi, semburat
jingga di cakrawala, dan hujan. Kurang kopinya ja lagi nih wkwk. #penikmatsenja
Setelah hujan reda, sehabis maghrib,
aku pergi ke Rumah Sakit Islam Banjarmasin di Jalan S. Parman. Aku mendaftar
nama, mengantri sambil baca e-book yang dikasih sama Rana, mengeluh kelaparan
dengan diri sendiri, dan memperhatikan penghuni rumah sakit yang mondar-mandir
di depanku. Hingga akhirnya namaku dipanggil oleh suster, dan aku memasuki
ruang dokter THT tersebut sambil menelan ludah.
The doctor is nice. Dia perempuan
seumuran ibuku yang ramah, dan menyenangkan. Dia menanyakan keluhanku dan
memeriksa dengan telaten. Hingga akhirnya tiba waktunya menyampaikan hasil pemeriksaannya.
Menurutnya ini jelas bukan sariawan, tapi seperti daging yang tumbuh di bawah
lidah. Dugaannya adalah tumor.
Aku kaget, sedikit. Aku berusaha
santai, tapi rupanya Bu Dokter baik hati sempat menangkap perubahan ekspresiku
selama sepersekian detik. Ia cepat-cepat menjelaskan dengan lugas, “Tumor itu
ada dua jenis, tumor ganas dan tumor jinak. Kalau dugaan ibu, ini hanya tumor
jinak. Tapi tetap harus ditindaklanjuti, harus di operasi dan hasilnya nanti dicek
di lab.”
I was alone there. Pengalaman
perdana pergi ke dokter sendirian, dan langsung menerima berita seperti ini.
God damn. I felt cool. Call me weird, but I felt cool. Karena aku berhasil tidak
heboh, tidak rempong, dan tidak mengalami panic attack. Oh yas!
I’m okay with everything, I went
home calmly. Tapi orang rumah tidak bereaksi sama sepertiku. Mereka langsung
heboh.
Keesokannya hari Rabu tanggal 20,
aku ditemani tanteku pergi ke Ciputra Mitra Hospital. Aku periksa ke dokter THT
di sana sekali lagi, untuk double check. Ternyata hasil diagnosanya sama persis
dengan dokter yang pertama. Jelas sudah, I’m going to have my very first
surgery.
Jadi kami langsung mengurus
administrasi untuk rawat inap. Sebelumnya aku sempat diberi tahu oleh petugas
administrasi di Rumah Sakit Islam bahwa kamar di sana penuh, dan aku dirujuk ke
Rumah Sakit Ulin. Tapi ya ampun, tahu kan RS Ulin itu juga sama penuhnya?
Makanya aku ke Ciputra. Tapi ternyata di Ciputra kamarnya juga penuh. Kelas
VVIP, VIP, 1 PLUS, dan Kelas 1, all booked. Aku cuma kebagian di Kelas 2, yang
berarti aku harus berbagi ruangan dengan 2 pasien lainnya. Hmmm.
Siang itu juga aku menempati kamar dan dipasangi infus
(I cried. Iya aku memang setakut itu, tapi lebih banyak sedihnya karena rekor
‘tidak pernah diinfus’ ku berakhir disini). I changed my clothes to Ciputra’s
blue uniform that the nurse gave me. It’s for the patients, she said. I wore
nothing underneath—the hospital procedure. I felt weird, but yawda.
Sekitar satu atau dua jam kemudian aku dipanggil untuk
melakukan roentgen. Aku dibawa menggunakan kursi roda (susternya maksa make
kursi roda padahal aku ngerasa awkward banget astaga). Aku bawa selimut dari
kamar karena untuk menuju ruang radiologi harus turun ke lantai dasar dan
melewati lobby, yang berarti aku akan berpapasan dengan banyak orang. Oh god. I
clutched the blanket tightly, covering my front body. Long story short aku
dikembalikan ke kamar setelah melakukan roentgen. Lalu sekitar jam 6 sore aku
dibawa lagi untuk melakukan operasi.
Aku berganti pakaian lagi dengan semacam jubah. Then I
lay in bed, and the doctors brought me in to the surgery room. Dan, coy, ruang
operasinya keren. If you’re a fan of fiction, fantasy, or dystopian novels or
movies like me, you’d be thrilled. Ruangannya memang sekeren itu! Peralatan
medis yang aku tidak tahu namanya tertata di seluruh penjuru ruangan yang
terang, berwarna putih, dan berbau steril. Semua orang di dalam situ memakai
masker, sarung tangan, jubah dokter, dan pokoknya pernak-pernik medis lainnya.
Entah aku yang memang kebanyakan imajinasi atau bagaimana, tapi I swear ini
persis kayak di film-film.
Gara-gara kebanyakan imajinasi, aku jadi tidak merasa
takut sama sekali. Aku ingat salah satu dokter berkata bahwa ia akan memasukkan
obat bius ke pembuluh darahku melalui infus. Aku ya manggut-manggut saja.
Dokter yang lain mengajakku ngobrol, mungkin berusaha mengalihkan perhatianku
supaya tidak panik. But doc, I’m not scared. I’m excited! Dosis obat bius itu
mulai bekerja. Aku ingat sempat menjawab beberapa pertanyaan dokter sebelum aku
mulai kehilangan kesadaran dan dunia menjadi gelap gulita.
….. dan aku terbangun beberapa saat kemudian. Hal pertama
yang kurasakan adalah rasa kantuk yang luar biasa. Kemudian aku mulai menyadari
bahwa tenggorokanku sakit, dan ketika mataku mulai bisa menyesuaikan dengan
cahaya, aku sadar bahwa aku masih berada di ruangan operasi. Suster di
sebelahku tersenyum dan menyapa, ia bilang operasinya sudah selesai. Aku mencari-cari
jam di dinding. Oh, baru jam 7 malam! Berarti aku hanya tidak sadarkan diri
selama kurang lebih satu jam, dan operasinya juga sudah selesai. Well, that was
quick.
Then my mom came in the room. She rushed quickly to my
side. She was really nervous before I got my surgery, and now that I’m awake, I
can see that she’s relieved.
A few moments later, aku dikembalikan lagi ke kamarku.
Aku ingat merasa mengantuk, jadi aku tidur lagi. Besoknya, teman-teman datang
berkunjung. Aww, manis sekali. Aku senang dan merasa terharu. Thanks friends!
Kira-kira satu minggu kemudian hasil labnya keluar,
dan alhamdulillah hasilnya tidak mengerikan. Aman. My mom bisa bernapas lega. Hahaha.
Jadi itu pengalamanku menginap di rumah sakit dan
mengacaukan rekor ‘tidak pernah di infus’ ku. Oh iya, selama aku dirawat,
dokter dan suster-susternya baiiiik sekali. Pelayanannya juga menyenangkan. I’ll
give a good review for Ciputra Mitra Hospital. Tapi sebagus apapun
pelayanannya, percayalah, dirawat di rumah sakit tetap saja nggak enak. You know
what I mean, right? Mending sehat-sehat aja deh guys. Gausa sakit.