Fahri
Fahri
duduk dua meja di depanku. Ia sedang menunduk sambil menuliskan sesuatu di
selembar kertas. Aku menegakkan tubuh, berusaha melihat apa yang ditulisnya.
Seolah menyadari tatapanku, ia menoleh dan tersenyum malu saat pandangannya
bertemu denganku.
Apa yang kamu tulis? Tanyaku tanpa
suara.
Fahri
melirik guru matematika yang sedang menuliskan soal di papan tulis, lalu
berbalik dan melempar segumpal kertas yang mendarat di mejaku. Aku mengangkat
alis dan ia pun membalikkan punggungnya ke arahku. Karena penasaran, aku
mengambil gumpalan kertas itu dan membukanya di bawah meja agar tidak ketahuan
oleh guru.
...
Apa
yang bisa dilakukan oleh penyair
Bila
setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan?
Udara
penuh rasa curiga
Tegur
sapa tanpa jaminan
Air
lautan berkilat-kilat
Suara
lautan adalah suara kesepian
Dan
lalu muncul wajahmu
...
Aku
tersenyum. Fahri suka sekali dengan sastra. Saat berbicara pun terkadang ia
menggunakan bahasa yang baku. Ia sering mengirimiku puisi-puisi, atau
sajak-sajak, atau apapun yang terlintas di pikirannya. Nilai Bahasa
Indonesianya sempurna. Ia tidak terlalu mengikuti tren dan gaya masa kini.
Fahri juga suka menonton film yang gambarnya masih hitam putih dengan jalan
cerita yang terkadang membuatku mengantuk.
Fahri orang yang
pendiam dan suka menyendiri. Aku sering memergokinya sedang melamun, seperti
sedang tenggelam dalam dunianya sendiri. Terkadang ia tampak murung, lalu
beberapa saat kemudian ia akan tersenyum dengan pandangan yang menerawang. Oh,
sepertinya hanya dia dan Tuhan yang tahu apa saja yang ada dalam benaknya.
Aku
dan Fahri sudah saling mengenal semenjak masih memakai seragam merah dan putih.
Aku ingat saat itu hari pertama sekolah di kelas satu. Aku duduk sendirian di
bangku sambil memakan bekal yang disiapkan oleh ibuku. Lalu seorang wanita
datang dan menarik kursi di sebelahku. Ia bertanya, apakah boleh Fahri duduk
disini? Aku mengangguk, walaupun tak tahu siapa Fahri itu.
Kemudian
seorang anak laki-laki duduk di sampingku. Kutanya siapa namanya, namun ia tak
menjawab dan hanya menundukkan kepala. Aku sedikit kecewa karena sepertinya
teman sebangkuku adalah anak yang susah diajak berteman. Lalu aku pikir, ah
mungkin dia hanya malu. Ini kan, hari pertama sekolah. Aku menawarinya makanan
ringan yang kubawa dari rumah. Kepalanya terangkat sedikit saat aku merobek
plastik jajanan kecil itu. Lalu tanpa berkata-kata, ia mengambil makanan itu
dari tanganku.
Setelah
beberapa hari bersekolah, aku sudah berteman dengan banyak orang. Namun tidak
dengan Fahri. Saat istirahat, ia tidak pernah keluar kelas untuk membeli
jajanan di kantin seperti anak-anak yang lain. Ia hanya duduk di kelas, memakan
bekal yang dibawanya dari rumah dan selalu didampingi oleh seorang guru
perempuan yang aku tak pernah tahu siapa namanya.
Keesokan
harinya, karena penasaran aku sengaja tidak pergi ke kantin dan memilih untuk
tinggal di dalam kelas. Fahri dan ibu guru itu masih di dalam kelas seperti
biasa. Aku mendekat. Ibu guru yang cantik itu menyapa dan menanyakan namaku.
Gia, jawabku sambil tersenyum malu. Ia menyuruhku duduk di samping Fahri yang
sedang asyik memakan kentang dari dalam kotak bekalnya.
Besok
dan besok dan besoknya lagi aku tak pernah pergi ke kantin. Aku membawa bekal
dari rumah dan memakannya bersama Fahri dan ibu guru cantik. Selama itu pula
aku tak pernah mendengar Fahri berbicara. Sekalipun ia bersuara, yang keluar
dari mulutnya hanyalah gumaman kecil yang tidak jelas. Mungkin karena melihat
ekspresi bingung di wajahku, ibu guru cantik itu pun mengajakku berbicara dan
menjelaskan kondisi Fahri.
Fahri
orangnya memang pendiam, katanya saat itu. Fahri tidak suka dengar yang
ribut-ribut atau pergi ke tempat yang banyak orangnya, jadi Fahri tidak mau
pergi ke kantin. Fahri tidak boleh makan dan minum beberapa jajan yang dijual
di kantin karena dia alergi dan bisa sakit. Fahri juga takut kalau ditinggal
sendirian. Dia bisa panik, lalu tersesat dan hilang. Fahri juga malu kalau
diajak berbicara dengan teman-teman. Fahri juga malu sama Gia.
Saat itu aku hanya mengangguk-angguk tak
mengerti.
Beberapa
tahun kemudian, barulah aku mendapat penjelasan lengkapnya. Fahri seorang
penderita autis dan hiperaktif. Dia bisa mengamuk kalau mendengar suara bising.
Hiperaktifnya akan kumat kalau ia salah makan. Ia takkan bisa tidur semalaman
kalau mengonsumsi susu sapi dan terlalu banyak bumbu penyedap. Fahri tak bisa
ditinggal sendirian, atau dia akan pergi menjelajah sendiri dan akhirnya
hilang. Fahri belum bisa berbicara dengan benar.
Sejak
saat itu, aku memutuskan untuk menjadi sahabat Fahri. Aku terbiasa
melindunginya dan menghajar anak-anak nakal yang sering menjahili dan
mengejeknya. Aku terbiasa menenangkan Fahri saat hiperaktifnya kambuh. Aku
terbiasa mengontrol makanan yang dikonsumi Fahri di sekolah. Dan selama
bertahun-tahun aku berhasil membantu dan menyaksikan berbagai perkembangan
Fahri hingga kami duduk di bangku SMA.
***
Saat
istirahat, aku dan Fahri berjalan berdampingan menyusuri lorong sekolah. Ia
hendak pergi ke perpustakaan. Berbagai jenis buku menumpuk di tangannya.
“Yang tadi kamu kasih itu puisinya
siapa?” Tanyaku.
“Coba tebak.” Sahutnya.
“Siapa, ya? Gus Mus bukan?”
“Tebak lagi.”
“Guruh Soekarno Putra?”
“Guruh itu seorang penulis lagu, bukan
penyair.”
“Terus, siapa dong?”
“W.S. Rendra.”
“Bukannya dia yang menulis lagu
Indonesia Raya?”
“Astaga, itu W.R. Soepratman.”
Aku terkikik geli. “Aku cuma bercanda,
kok.”
Sudut bibirnya terangkat sedikit.
“Ayo dong, senyum yang lebar!” aku
mencubit pipinya.
Fahri mencoba
tersenyum, namun kelihatan sangat kaku dan dipaksakan. Aku menggelitiki
pinggangnya.
“Senyum yang lebaaaaar.”
“Tidak mau.” Ia mencoba berkelit, tapi
aku lebih gesit karena ia terbebani tumpukan buku di kedua tangannya.
Aku
terus menggelitikinya sampai pada akhirnya ia menyerah dan tertawa. Tawanya
lucu dan nyaman di dengar. Ia tersenyum lebar, lalu menundukkan kepalanya saat
melihatku sedang nyengir.
“Jangan memandangiku.” Katanya pelan.
“Kenapa?” tanyaku.
Ia menggeleng pelan.
“Gia!”
seseorang memanggilku dari belakang.
Aku
berbalik dan mendapati Reza dan teman-temannya melambaikan tangannya padaku.
Mereka mendekat hingga beberapa langkah dariku dan Fahri.
“Mau kemana?” tanya Reza.
“Ke perpustakaan.” Jawabku pendek.
“Sama dia?” Reza menodongkan jarinya ke
arah Fahri yang menundukkan kepalanya lebih dalam.
“Iya.” Aku mengangkat daguku. “Memangnya
kenapa?”
“Kamu cantik, Gia.” Kata Reza. “Kamu
tidak seharusnya berteman dengan orang aneh seperti dia.”
Aku menggertakkan gigi. “Fahri bukan
orang aneh. Kalau kamu mau tahu siapa yang aneh, lihat saja di cermin.”
Reza mendecakkan lidahnya. “Kamu
seharusnya makan di kantin bersama teman-teman yang lain, bukan mengurusi Fahri
si anak manja. Bagaimana kalau kamu sakit karena kurang makan dan kelelahan? Kamu
seharusnya berkumpul dengan anak-anak yang lain dan bergaul, nonton film
bersama, berkencan, atau apalah. Fahri jelas-jelas mempengaruhimu, Gia. Sadar,
dong!”
Fahri
menggumamkan sesuatu, namun aku tidak bisa mendengar dengan jelas karena
kemarahan yang membuat telingaku berdenging. Aku mengangkat kepalan tanganku
dan menonjok rahang Reza. Yah, terima kasih banyak pada para pelatih dan
kantong samsak di kelas bela diriku.
“Aduh!” Reza mengerang. Ia menutupi
wajahnya dengan kedua tangan.
Aku menatapnya dengan galak. “Nah,
sekarang setiap kali kamu berdiri di depan cermin, kamu akan bertatapan dengan
orang aneh dengan muka yang babak belur.”
Lalu aku menggandeng tangan Fahri dan dengan
setengah menyeret, mengajaknya berjalan menjauh.
***
Aku
dan Fahri sedang mengerjakan pr bersama-sama di ruang keluarga Fahri.
Buku-buku, alat tulis, dan kertas-kertas berserakan di sekitar kami. Aku
sengaja berkunjung ke sini untuk menemani Fahri. Kedua orang tuanya pergi ke
luar kota untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan sampai sore, sehingga Fahri harus
ditinggal sendiri. Aku, sebagaimana biasa, takkan membiarkan itu terjadi. Maka
aku pun mengangkut semua prku yang menggunung dan mengerjakannya di sini.
“Susaaah.” Keluhku.
Fahri melirikku sekilas, lalu mengambil
buku tulisku dan membacanya.
“Jangan berkomentar.” Ancamku.
Ia tersenyum. “Sedikit lagi selesai.”
Aku memutar bola mataku. “Sedikit lagi
apanya? Perintahnya jelas-jelas tertulis kalau kita harus menulis essai paling
sedikit delapan paragraf, dan aku baru menulis dua. Dua! Dua paragraf, Fahri, dua!”
“Tidak sesusah itu, kok. Lagipula, dua
paragraf lebih baik daripada tidak sama sekali.”
Aku mengambil buku tulis Fahri dan
melihat bahwa tugasnya sudah selesai. “Kerjakan punyaku, dong?”
“Hmm, kau coba kerjakan sendiri dulu,
ya?”
Aku mengerang.
Fahri
membereskan kertas-kertas yang berhamburan dan menatanya di atas meja. Aku
bangkit dan meregangkan badanku yang sedari tadi terasa pegal. Lalu pandanganku
mendarat pada sebuah foto yang dibingkai di atas meja. Itu foto Fahri dan kakak
perempuannya ketika masih kecil.
“Bagaimana kabar Kak Reyna sekarang?”
tanyaku.
Fahri mengangkat bahunya. “Dia wisuda
bulan depan dan langsung dapat beasiswa lagi. Enam bulan lagi Kak Reyna
berangkat ke Jerman.”
“Keren.” Gumamku.
“Ya, mungkin sedikit.” Fahri menunduk.
“Aku bakal jarang bertemu dengan dia.”
Aku tersenyum dan menepuk bahunya. “Hei,
kita kan masih bisa menghubungi Kak Reyna lewat telepon atau Skype.”
Fahri mengangkat bahunya. “Tak ada yang
sebanding dengan bertemu secara langsung, Gia.”
Fahri
dan kakaknya sangat dekat sedari kecil. Kak Reyna orang yang sangat baik dan
penyabar. Ia mengurus Fahri tanpa mengeluh dan selalu menyemangatinya. Kak
Reyna menyambutku dengan sangat baik saat kali pertama aku mengunjungi Fahri di
rumahnya. Dulu, ia sering mengajak kami duduk-duduk di taman sambil makan es
krim atau minum es jeruk buatan sendiri yang ia bawa dalam termos-termos kecil.
Beberapa
tahun yang lalu, Kak Reyna mendapat beasiswa di salah satu universitas ternama
di pulau Jawa. Aku ikut dengan keluarga Fahri ke bandara, dimana Fahri menangis
dalam pelukan Kak Reyna karena tidak mau berpisah dengannya. Kami semua harus
membujuk Fahri selama berjam-jam, sampai membuat Kak Reyna nyaris ketinggalan
pesawat. Sebelum pergi, Kak Reyna memelukku dengan sangat erat. Aku masih ingat
dengan jelas apa yang dikatakannya saat itu.
“Aku titip Fahri, ya?” bisiknya di
telingaku.
Aku mengangguk.
“Tolong jangan biarkan siapapun
mengganggu dia.”
“Aku akan menjaga Fahri.”
“Oke.” Ia menepuk bahuku.”Berjanjilah
padaku.”
“Aku janji.”
Kak Reyna tersenyum dan memelukku sekali
lagi. “Kamu gadis yang baik, Gia. Aku senang sekali Fahri punya teman
sepertimu. Setidaknya aku tak perlu terlalu khawatir karena Fahri punya
malaikat pelindung di sisinya.”
Sejak saat itu
aku bersumpah pada Kak Reyna dan diriku sendiri bahwa aku akan menjaga Fahri.
Aku takkan membiarkan apa pun dan siapa pun mengganggunya.
***
Hari
ini hari Minggu. Fahri mengunjungiku di rumah. Aku sedang menyirami tanaman dan
menyapu daun-daun gugur yang berserakan ketika Fahri tiba-tiba muncul di depan
gerbang. Ia lantas duduk di teras rumah sambil bersandar di dinding.
“Kalau mau minum ambil sendiri, ya?”
kataku.
“Oke.”
Tapi
ia tidak beranjak. Ia masih duduk di sana dengan pandangan menerawang. Aku
menggeleng-gelengkan kepala dan kembali menyapu.
Halaman
rumahku penuh dengan berbagai macam bunga dan pohon buah. Mangga, alpukat,
jeruk, jambu, rambutan, sebut saja semuanya. Pohon-pohon itu selalu berbuah
sepanjang tahun secara bergantian. Fahri pernah berkata bahwa rumahku penuh
dengan sumber daya alam. Katanya, ia tak perlu lagi beli buah ke pasar. Ia
hanya perlu datang ke rumahku dan mengambil sendiri dari pohonnya. Aku
mengalihkan pandangan dari daun-daun yang kusapu dan mendapati Fahri sedang
tersenyum.
“Kenapa kamu senyum-senyum?” tanyaku.
“Aku tiba-tiba teringat akan sesuatu.”
“Apa?”
“Hatiku
selembar daun melayang jatuh di rumput,
nanti
dulu, biarkan aku sejenak…
Terbaring
di sini,
ada
yang masih ingin kupandang,
yang
selama ini senantiasa luput,
Sesaat
adalah abadi sebelum kau sapu
tamanmu
setiap pagi…”
“Coba kutebak.” Aku mencoba berpikir.
“Pasti W.S Rendra.”
“Bukan.” Fahri tersenyum.
“Siapa?” tanyaku, balas tersenyum.
“Sapardi Djoko Damono.”
Aku mencoba mengingat-ingat siapa itu
Sapardi Djoko Damono, tapi gagal. Aku menggeleng-gelengkan kepala. “Maaf Fahri,
tapi aku tidak tahu Sapardi itu yang mana.”
Ia hanya mengangkat bahu.
“Ada puisi yang lain?”
“…
Aku
tidak melihat alasan
Kenapa
harus diam tertekan dan termangu.
Aku
ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk
berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.
Kenapa
ketakutan menjadi tabir pikiran?
Kekhawatiran
telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan
telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.
…”
“Sapardi Djoko Damono?” tebakku.
Ia menggeleng dan tertawa kecil. “W.S
Rendra.”
***
Siang
itu, kelasku sedang mengerjakan ulangan Geografi saat keributan pecah di
halaman sekolah. Suara-suara teriakan dan kaca pecah terdengar dari mana-mana.
Semua anak berdiri dari kursinya dan mengintip di jendela, tak mengindahkan
perkataan guru yang menyuruh mereka duduk.
Aku
ikut berdesakan di jendela. Mataku membelalak ketika melihat anak-anak dengan
lambang sekolah lain di lengan baju mereka saling serang dengan anak-anak dari
sekolahku. Mereka saling berteriak, adu hantam, dan menjegal satu sama lain.
Semua orang mulai panik dan menjerit-jerit.
“Tawuran!”
“Ada tawuran, ya ampun!”
“Astaga!”
Melalui
jendela, aku dapat melihat anak-anak dengan sorot mata ketakutan mengintip dari
jendela kelas lain. Mereka saling adu pandang dengan panik. Tak ada seorang pun
yang berani keluar, bahkan guru-guru sekalipun. Aku bisa saja mengintip di
jendela lebih lama lagi, namun sebuah batu menghantam jendela di sampingku dan
menyebabkan kacanya pecah berhamburan. Anak-anak menjerit. Aku mundur, berusaha
menghindari pecahan kaca di lantai.
“Menjauh dari jendela!” Ibu Dian, guru
Geografi di kelasku berteriak.
Semua
orang menjauhi jendela dan merapat ke ujung ruangan. Aku terdorong-dorong oleh
anak-anak yang ketakutan hingga aku terhimpit di dinding. Lalu
sekonyong-konyong aku terkesiap.
“Fahri!” jeritku.
Aku
menyikut setiap orang yang menghalangi jalan sambil memanggil Fahri dengan
kalut. Dimana Fahri? Pikirku dengan panik. Beberapa anak lelaki sedang
mengganjal pintu dengan meja dan kursi. Sebagian yang lain berusaha menutupi
jendela yang pecah sementara anak-anak perempuan saling berhimpitan dan
menangis. Tapi dimana Fahri?
Akhirnya
aku menemukannya. Fahri sedang meringkuk di belakang meja guru sambil menutupi
kedua telinganya dengan tangan. Matanya terpejam. Aku berlutut di depannya.
“Fahri?”
Fahri bergidik. Ia menepis tanganku.
“Tidak apa-apa.” Kataku lembut. Aku
setengah mati membuat suaraku sedatar mungkin dan menekan rasa panik yang
membuatku ingin ikut-ikutan menjerit seperti kawan-kawanku. “Ini aku. Semuanya
akan baik-baik saja.”
Fahri terisak. Aku duduk di sampingnya
dan mengusap pundak Fahri. Aku menelan ludah. “Fokus pada suaraku, Fahri.
Abaikan yang lain. Fokus padaku.”
Fahri menundukkan kepalanya semakin
dalam.
“Kita aman disini, Fahri. Jangan takut.
Semua akan baik-baik saja.”
Aku
merangkul pundaknya. Aku tak tahu lagi berapa lama kami berdiam diri seperti
itu hingga akhirnya polisi datang untuk mengamankan sekolah dan orang tua Fahri
datang menjemput.
***
Berminggu-minggu
bahkan berbulan-bulan semenjak peristiwa tawuran itu, murid-murid masih saja
ramai membicarakannya. Polisi memeriksa dan mewawancarai nyaris semua penghuni
sekolah, mulai dari kepala sekolah, guru, satpam, hingga bibi kantin. Fahri
sendiri perlu beberapa hari untuk memulihkan diri, namun sekarang ia sudah
baik-baik saja.
Aku
dan teman-temanku sedang duduk-duduk di depan kelas. Sesekali aku menengok
Fahri yang sedang duduk rapi sambil membaca buku di dalam kelas.
“Gia, kamu mau ikut hari ini?” tanya
Vera.
“Kemana?” tanyaku.
“Ke mall. Kamu satu-satunya yang paling
jarang ikut jalan-jalan, lho.”
“Siapa saja yang ikut?” tanyaku lagi.
“Yah, biasa lah, cuma kita-kita saja.”
Jawab Dhea.
“Cowok tidak boleh ikut.” Tambah Lisa.
Jalan-jalan
khusus cewek-cewek? Hmm, aku tidak ingat kapan terakhir kali aku melakukannya.
Kedengarannya asyik juga. Lagipula aku bosan setengah mati di rumah.
“Boleh, deh. Kapan?” tanyaku.
“Nah, gitu dong! Pulang sekolah
langsung, ya?”
“Oke!”
Saat
pulang sekolah, seperti biasa aku menunggu Fahri di depan sekolah. Sepulang
sekolah ia memang sering mampir dulu di perpustakaan. Aku bersandar di gerbang
sambil meminum es kelapa.
“Ayo, Gia. Kamu jadi ikut, kan?” panggil
Vera.
“Aku menunggu Fahri dulu.” Jawabku.
“Sebentar lagi mungkin dia muncul. Aku harus bilang kalau hari ini tidak bisa
pulang bareng dia.”
Lisa melambaikan tangannya. “Ya ampun,
sudah deh. Dia kan sudah besar. Lagian, aku sudah memberi tahunya tadi siang
kalau kamu mau ikut kami jalan-jalan.”
Aku memandangnya tidak percaya. “Yang
benar?”
“Sumpah!” Lisa mengacungkan dua jarinya.
“Ya, sudah. Ayo, pergi.”
Dan
aku memang bersenang-senang siang itu. Rasanya luar biasa bisa menghabiskan
waktu dengan teman-teman perempuan, tertawa-tawa, melihat-lihat baju, dan
makan-makan. Kami mengobrolkan banyak hal dan tertawa lepas hingga perut kami
sakit. Setelah puas berkeliling, kami mampir di salon. Aku merasa canggung
karena terakhir kali aku ke sini sudah lama sekali. Namun ada satu hal yang
benar-benar kunikmati. Pijatan di kepala!
Menjelang
sore, barulah kami pulang ke rumah masing-masing. Aku turun dari angkot di
depan komplek rumahku dan mulai berjalan. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku
mengambilnya dari saku dan melihat layar. Ternyata Ibunya Fahri. Aku
mengangkatnya.
“Halo, Tante.” Sapaku.
“Gia? Fahri ada sama kamu?”
Aku berhenti berjalan. Apa maksudnya?
Bukannya Fahri sudah pulang?
“Apa?” aku nyaris memekik.
“Fahri ada sama kamu, kan? Soalnya tante
pulang kerja tapi rumah masih kosong, jadi tante pikir Fahri pasti mampir di
rumahmu, iya kan?”
Aku nyaris ambruk di tengah jalan. Aku
menelan ludah. “I-iya, tante. Fahri ada disini, kok.”
Terdengar desahan lega. “Oh, ya sudah.
Tante sudah khawatir duluan.”
“Hehe. Iya tante.”
“Ya sudah kalau begitu. Bilang sama
Fahri jangan pulang terlalu malam, ya.”
“Siap, tante.” Sahutku lemah.
“Oke. Terima kasih ya, Gia.”
Ponselku
terlepas dari peganganku. Aku memungutnya lagi dengan gemetar dan mulai
berlari. Aku memacu langkahku secepat mungkin. Ya Tuhan, dimana Fahri? Aku
buru-buru membuka pagar rumahku dan menyerbu masuk ke dalam.
“Ibu, Fahri ada disini?” tanyaku nyaris
berteriak.
Ibuku yang sedang membaca majalah
terlonjak kaget. “Eh, kamu sudah pulang? Ucap salam dulu, dong.”
“Fahri ada disini!?” jeritku.
“Tidak ada. Memangnya kenapa?”
Aku merasakan
air mulai menggenang di pelupuk mataku saat aku kembali memacu langkah. Aku
memeriksa taman, perpustakaan daerah, kedai es krim, dan semua tempat yang
sering kukunjungi bersama Fahri. Namun ia tak ada di manapun. Aku setengah
sadar sedang menangis terisak-isak dan praktis membuat semua orang yang kusikut
mengumpat marah.
Aku
berhenti untuk mengatur napas dan menjernihkan pikiran. Kira-kira dimana Fahri
berada saat ini? Toko buku? Tempat les? Sekolah? Aku tersentak. Ya, tentu saja.
Sekolah. Aku kembali berlari secepat yang kubisa. Ikat rambutku terlepas entah
dimana dan keringat membanjir menuruni pelipis dan leherku. Tapi sungguh aku
tidak peduli. Yang kupedulikan saat ini hanyalah Fahri.
“Setidaknya
aku tak perlu terlalu khawatir karena Fahri punya malaikat pelindung di sisinya.”
Suara
Kak Reyna tiba-tiba membayang. Aku terisak dan berpikir dengan getir, malaikat
pelindung macam apa yang dengan cerobohnya kehilangan orang yang harus dilindunginya?
Dan
disanalah ia, sedang duduk menyandar di tembok pagar sekolah sambil membaca
buku. Aku berhenti berlari, membungkuk, berusaha mengatur napas, dan tersedak
air mataku sendiri. Aku merapikan rambut dan bajuku, lalu berjalan pelan
mendekatinya.
“Fahri?”
Ia mendongak. “Hai.”
Aku duduk di sampingnya. “Kamu baca
apa?”
Ia mengangkat novelnya sehingga aku bisa
membaca judulnya. “Kelihatannya asyik.” Aku menarik napas panjang. “Kamu sedang
apa disini, Fahri?”
Ia tersenyum. “Kau orang ketiga yang menanyakan
itu padaku hari ini.”
Aku mengangkat alis. “Oh ya? Siapa yang
pertama dan kedua?”
“Yang pertama Mang Ujang.” Ia menunjuk
Mang Ujang, penjaga sekolah kami yang sedang berjaga di pos satpam. Mang Ujang
mengangguk padaku. Aku tersenyum.
“Yang kedua?” tanyaku.
“Mereka.” Fahri menunjuk dinding di
sebelahnya.
Koloni
semut merah sedang berbaris di sepanjang dinding itu. Mereka berurutan
membentuk satu baris yang panjang. Mereka saling tertib dan tidak mencoba
mendahului satu sama lain. Aku tersenyum.
“Mereka sedari tadi menatapku dengan curiga.”
Kata Fahri.
“Oh, ya?”
“Mereka bertanya apa yang sedang
kulakukan disini.”
“Lalu kamu jawab apa?” tanyaku.
Fahri menunduk malu. “Kujawab aku sedang
menanti… menanti…”
“Menanti siapa?” tanyaku lembut.
“Menanti Gia.” Jawabnya lirih.
Jika orang lain
yang menggunakan salah satu lagu Obbie Messakh itu untuk mengatakan hal yang
sama dengan yang Fahri coba lakukan, aku pasti sudah menonjoknya. Tapi ini
Fahri. Aku ingin tertawa, berteriak, menangis, dan melompat-lompat pada saat
yang bersamaan.
“Ya ampun, Fahri… Kenapa tidak langsung
pulang saja?”
“Aku takkan pernah meninggalkanmu, Gia.
Kita pulang bersama-sama, kan? Aku tidak mau pulang tanpamu.”
Dan dengan perkataan itu, tangisku pun kembali
pecah.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar