Kamis, 31 Mei 2018

Fahri (Cerpen)

I wrote this short story a few years ago, and it has won an award from Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan. I'm quite proud of this story, and I kind of feeling emotional writing it back then. So please enjoy, and leave some good comments below :)






Fahri

         Fahri duduk dua meja di depanku. Ia sedang menunduk sambil menuliskan sesuatu di selembar kertas. Aku menegakkan tubuh, berusaha melihat apa yang ditulisnya. Seolah menyadari tatapanku, ia menoleh dan tersenyum malu saat pandangannya bertemu denganku.
Apa yang kamu tulis? Tanyaku tanpa suara.
            Fahri melirik guru matematika yang sedang menuliskan soal di papan tulis, lalu berbalik dan melempar segumpal kertas yang mendarat di mejaku. Aku mengangkat alis dan ia pun membalikkan punggungnya ke arahku. Karena penasaran, aku mengambil gumpalan kertas itu dan membukanya di bawah meja agar tidak ketahuan oleh guru.

...
Apa yang bisa dilakukan oleh penyair
Bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan?
Udara penuh rasa curiga
Tegur sapa tanpa jaminan

Air lautan berkilat-kilat
Suara lautan adalah suara kesepian
Dan lalu muncul wajahmu
...

            Aku tersenyum. Fahri suka sekali dengan sastra. Saat berbicara pun terkadang ia menggunakan bahasa yang baku. Ia sering mengirimiku puisi-puisi, atau sajak-sajak, atau apapun yang terlintas di pikirannya. Nilai Bahasa Indonesianya sempurna. Ia tidak terlalu mengikuti tren dan gaya masa kini. Fahri juga suka menonton film yang gambarnya masih hitam putih dengan jalan cerita yang terkadang membuatku mengantuk.
Fahri orang yang pendiam dan suka menyendiri. Aku sering memergokinya sedang melamun, seperti sedang tenggelam dalam dunianya sendiri. Terkadang ia tampak murung, lalu beberapa saat kemudian ia akan tersenyum dengan pandangan yang menerawang. Oh, sepertinya hanya dia dan Tuhan yang tahu apa saja yang ada dalam benaknya.
            Aku dan Fahri sudah saling mengenal semenjak masih memakai seragam merah dan putih. Aku ingat saat itu hari pertama sekolah di kelas satu. Aku duduk sendirian di bangku sambil memakan bekal yang disiapkan oleh ibuku. Lalu seorang wanita datang dan menarik kursi di sebelahku. Ia bertanya, apakah boleh Fahri duduk disini? Aku mengangguk, walaupun tak tahu siapa Fahri itu.
            Kemudian seorang anak laki-laki duduk di sampingku. Kutanya siapa namanya, namun ia tak menjawab dan hanya menundukkan kepala. Aku sedikit kecewa karena sepertinya teman sebangkuku adalah anak yang susah diajak berteman. Lalu aku pikir, ah mungkin dia hanya malu. Ini kan, hari pertama sekolah. Aku menawarinya makanan ringan yang kubawa dari rumah. Kepalanya terangkat sedikit saat aku merobek plastik jajanan kecil itu. Lalu tanpa berkata-kata, ia mengambil makanan itu dari tanganku.
            Setelah beberapa hari bersekolah, aku sudah berteman dengan banyak orang. Namun tidak dengan Fahri. Saat istirahat, ia tidak pernah keluar kelas untuk membeli jajanan di kantin seperti anak-anak yang lain. Ia hanya duduk di kelas, memakan bekal yang dibawanya dari rumah dan selalu didampingi oleh seorang guru perempuan yang aku tak pernah tahu siapa namanya.
            Keesokan harinya, karena penasaran aku sengaja tidak pergi ke kantin dan memilih untuk tinggal di dalam kelas. Fahri dan ibu guru itu masih di dalam kelas seperti biasa. Aku mendekat. Ibu guru yang cantik itu menyapa dan menanyakan namaku. Gia, jawabku sambil tersenyum malu. Ia menyuruhku duduk di samping Fahri yang sedang asyik memakan kentang dari dalam kotak bekalnya.
            Besok dan besok dan besoknya lagi aku tak pernah pergi ke kantin. Aku membawa bekal dari rumah dan memakannya bersama Fahri dan ibu guru cantik. Selama itu pula aku tak pernah mendengar Fahri berbicara. Sekalipun ia bersuara, yang keluar dari mulutnya hanyalah gumaman kecil yang tidak jelas. Mungkin karena melihat ekspresi bingung di wajahku, ibu guru cantik itu pun mengajakku berbicara dan menjelaskan kondisi Fahri.
            Fahri orangnya memang pendiam, katanya saat itu. Fahri tidak suka dengar yang ribut-ribut atau pergi ke tempat yang banyak orangnya, jadi Fahri tidak mau pergi ke kantin. Fahri tidak boleh makan dan minum beberapa jajan yang dijual di kantin karena dia alergi dan bisa sakit. Fahri juga takut kalau ditinggal sendirian. Dia bisa panik, lalu tersesat dan hilang. Fahri juga malu kalau diajak berbicara dengan teman-teman. Fahri juga malu sama Gia.
Saat itu aku hanya mengangguk-angguk tak mengerti.
            Beberapa tahun kemudian, barulah aku mendapat penjelasan lengkapnya. Fahri seorang penderita autis dan hiperaktif. Dia bisa mengamuk kalau mendengar suara bising. Hiperaktifnya akan kumat kalau ia salah makan. Ia takkan bisa tidur semalaman kalau mengonsumsi susu sapi dan terlalu banyak bumbu penyedap. Fahri tak bisa ditinggal sendirian, atau dia akan pergi menjelajah sendiri dan akhirnya hilang. Fahri belum bisa berbicara dengan benar.
            Sejak saat itu, aku memutuskan untuk menjadi sahabat Fahri. Aku terbiasa melindunginya dan menghajar anak-anak nakal yang sering menjahili dan mengejeknya. Aku terbiasa menenangkan Fahri saat hiperaktifnya kambuh. Aku terbiasa mengontrol makanan yang dikonsumi Fahri di sekolah. Dan selama bertahun-tahun aku berhasil membantu dan menyaksikan berbagai perkembangan Fahri hingga kami duduk di bangku SMA.

***

            Saat istirahat, aku dan Fahri berjalan berdampingan menyusuri lorong sekolah. Ia hendak pergi ke perpustakaan. Berbagai jenis buku menumpuk di tangannya.
“Yang tadi kamu kasih itu puisinya siapa?” Tanyaku.
“Coba tebak.” Sahutnya.
“Siapa, ya? Gus Mus bukan?”
“Tebak lagi.”
“Guruh Soekarno Putra?”
“Guruh itu seorang penulis lagu, bukan penyair.”
“Terus, siapa dong?”
“W.S. Rendra.”
“Bukannya dia yang menulis lagu Indonesia Raya?”
“Astaga, itu W.R. Soepratman.”
Aku terkikik geli. “Aku cuma bercanda, kok.”
Sudut bibirnya terangkat sedikit.
“Ayo dong, senyum yang lebar!” aku mencubit pipinya.
Fahri mencoba tersenyum, namun kelihatan sangat kaku dan dipaksakan. Aku menggelitiki pinggangnya.
“Senyum yang lebaaaaar.”
“Tidak mau.” Ia mencoba berkelit, tapi aku lebih gesit karena ia terbebani tumpukan buku di kedua tangannya.
            Aku terus menggelitikinya sampai pada akhirnya ia menyerah dan tertawa. Tawanya lucu dan nyaman di dengar. Ia tersenyum lebar, lalu menundukkan kepalanya saat melihatku sedang nyengir.
“Jangan memandangiku.” Katanya pelan.
“Kenapa?” tanyaku.
Ia menggeleng pelan.
 “Gia!” seseorang memanggilku dari belakang.
            Aku berbalik dan mendapati Reza dan teman-temannya melambaikan tangannya padaku. Mereka mendekat hingga beberapa langkah dariku dan Fahri.
“Mau kemana?” tanya Reza.
“Ke perpustakaan.” Jawabku pendek.
“Sama dia?” Reza menodongkan jarinya ke arah Fahri yang menundukkan kepalanya lebih dalam.
“Iya.” Aku mengangkat daguku. “Memangnya kenapa?”
“Kamu cantik, Gia.” Kata Reza. “Kamu tidak seharusnya berteman dengan orang aneh seperti dia.”
Aku menggertakkan gigi. “Fahri bukan orang aneh. Kalau kamu mau tahu siapa yang aneh, lihat saja di cermin.”
Reza mendecakkan lidahnya. “Kamu seharusnya makan di kantin bersama teman-teman yang lain, bukan mengurusi Fahri si anak manja. Bagaimana kalau kamu sakit karena kurang makan dan kelelahan? Kamu seharusnya berkumpul dengan anak-anak yang lain dan bergaul, nonton film bersama, berkencan, atau apalah. Fahri jelas-jelas mempengaruhimu, Gia. Sadar, dong!”
Fahri menggumamkan sesuatu, namun aku tidak bisa mendengar dengan jelas karena kemarahan yang membuat telingaku berdenging. Aku mengangkat kepalan tanganku dan menonjok rahang Reza. Yah, terima kasih banyak pada para pelatih dan kantong samsak di kelas bela diriku.
“Aduh!” Reza mengerang. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
Aku menatapnya dengan galak. “Nah, sekarang setiap kali kamu berdiri di depan cermin, kamu akan bertatapan dengan orang aneh dengan muka yang babak belur.”
Lalu aku menggandeng tangan Fahri dan dengan setengah menyeret, mengajaknya berjalan menjauh.

***

            Aku dan Fahri sedang mengerjakan pr bersama-sama di ruang keluarga Fahri. Buku-buku, alat tulis, dan kertas-kertas berserakan di sekitar kami. Aku sengaja berkunjung ke sini untuk menemani Fahri. Kedua orang tuanya pergi ke luar kota untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan sampai sore, sehingga Fahri harus ditinggal sendiri. Aku, sebagaimana biasa, takkan membiarkan itu terjadi. Maka aku pun mengangkut semua prku yang menggunung dan mengerjakannya di sini.
“Susaaah.” Keluhku.
Fahri melirikku sekilas, lalu mengambil buku tulisku dan membacanya.
“Jangan berkomentar.” Ancamku.
Ia tersenyum. “Sedikit lagi selesai.”
Aku memutar bola mataku. “Sedikit lagi apanya? Perintahnya jelas-jelas tertulis kalau kita harus menulis essai paling sedikit delapan paragraf, dan aku baru menulis dua. Dua! Dua paragraf, Fahri, dua!”
“Tidak sesusah itu, kok. Lagipula, dua paragraf lebih baik daripada tidak sama sekali.”
Aku mengambil buku tulis Fahri dan melihat bahwa tugasnya sudah selesai. “Kerjakan punyaku, dong?”
“Hmm, kau coba kerjakan sendiri dulu, ya?”
Aku mengerang.
            Fahri membereskan kertas-kertas yang berhamburan dan menatanya di atas meja. Aku bangkit dan meregangkan badanku yang sedari tadi terasa pegal. Lalu pandanganku mendarat pada sebuah foto yang dibingkai di atas meja. Itu foto Fahri dan kakak perempuannya ketika masih kecil.
“Bagaimana kabar Kak Reyna sekarang?” tanyaku.
Fahri mengangkat bahunya. “Dia wisuda bulan depan dan langsung dapat beasiswa lagi. Enam bulan lagi Kak Reyna berangkat ke Jerman.”
“Keren.” Gumamku.
“Ya, mungkin sedikit.” Fahri menunduk. “Aku bakal jarang bertemu dengan dia.”
Aku tersenyum dan menepuk bahunya. “Hei, kita kan masih bisa menghubungi Kak Reyna lewat telepon atau Skype.”
Fahri mengangkat bahunya. “Tak ada yang sebanding dengan bertemu secara langsung, Gia.”
            Fahri dan kakaknya sangat dekat sedari kecil. Kak Reyna orang yang sangat baik dan penyabar. Ia mengurus Fahri tanpa mengeluh dan selalu menyemangatinya. Kak Reyna menyambutku dengan sangat baik saat kali pertama aku mengunjungi Fahri di rumahnya. Dulu, ia sering mengajak kami duduk-duduk di taman sambil makan es krim atau minum es jeruk buatan sendiri yang ia bawa dalam termos-termos kecil.
            Beberapa tahun yang lalu, Kak Reyna mendapat beasiswa di salah satu universitas ternama di pulau Jawa. Aku ikut dengan keluarga Fahri ke bandara, dimana Fahri menangis dalam pelukan Kak Reyna karena tidak mau berpisah dengannya. Kami semua harus membujuk Fahri selama berjam-jam, sampai membuat Kak Reyna nyaris ketinggalan pesawat. Sebelum pergi, Kak Reyna memelukku dengan sangat erat. Aku masih ingat dengan jelas apa yang dikatakannya saat itu.
“Aku titip Fahri, ya?” bisiknya di telingaku.
Aku mengangguk.
“Tolong jangan biarkan siapapun mengganggu dia.”
“Aku akan menjaga Fahri.”
“Oke.” Ia menepuk bahuku.”Berjanjilah padaku.”
“Aku janji.”
Kak Reyna tersenyum dan memelukku sekali lagi. “Kamu gadis yang baik, Gia. Aku senang sekali Fahri punya teman sepertimu. Setidaknya aku tak perlu terlalu khawatir karena Fahri punya malaikat pelindung di sisinya.”
Sejak saat itu aku bersumpah pada Kak Reyna dan diriku sendiri bahwa aku akan menjaga Fahri. Aku takkan membiarkan apa pun dan siapa pun mengganggunya.

***

            Hari ini hari Minggu. Fahri mengunjungiku di rumah. Aku sedang menyirami tanaman dan menyapu daun-daun gugur yang berserakan ketika Fahri tiba-tiba muncul di depan gerbang. Ia lantas duduk di teras rumah sambil bersandar di dinding.
“Kalau mau minum ambil sendiri, ya?” kataku.
“Oke.”
            Tapi ia tidak beranjak. Ia masih duduk di sana dengan pandangan menerawang. Aku menggeleng-gelengkan kepala dan kembali menyapu.
            Halaman rumahku penuh dengan berbagai macam bunga dan pohon buah. Mangga, alpukat, jeruk, jambu, rambutan, sebut saja semuanya. Pohon-pohon itu selalu berbuah sepanjang tahun secara bergantian. Fahri pernah berkata bahwa rumahku penuh dengan sumber daya alam. Katanya, ia tak perlu lagi beli buah ke pasar. Ia hanya perlu datang ke rumahku dan mengambil sendiri dari pohonnya. Aku mengalihkan pandangan dari daun-daun yang kusapu dan mendapati Fahri sedang tersenyum.
“Kenapa kamu senyum-senyum?” tanyaku.
“Aku tiba-tiba teringat akan sesuatu.”
“Apa?”

“Hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput,
nanti dulu, biarkan aku sejenak…
Terbaring di sini,
ada yang masih ingin kupandang,
yang selama ini senantiasa luput,
Sesaat adalah abadi sebelum kau sapu
tamanmu setiap pagi…”

“Coba kutebak.” Aku mencoba berpikir. “Pasti W.S Rendra.”
“Bukan.” Fahri tersenyum.
“Siapa?” tanyaku, balas tersenyum.
“Sapardi Djoko Damono.”
Aku mencoba mengingat-ingat siapa itu Sapardi Djoko Damono, tapi gagal. Aku menggeleng-gelengkan kepala. “Maaf Fahri, tapi aku tidak tahu Sapardi itu yang mana.”
Ia hanya mengangkat bahu.
“Ada puisi yang lain?”

“…
Aku tidak melihat alasan
Kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.

Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran?
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.
…”

“Sapardi Djoko Damono?” tebakku.
Ia menggeleng dan tertawa kecil. “W.S Rendra.”

***

            Siang itu, kelasku sedang mengerjakan ulangan Geografi saat keributan pecah di halaman sekolah. Suara-suara teriakan dan kaca pecah terdengar dari mana-mana. Semua anak berdiri dari kursinya dan mengintip di jendela, tak mengindahkan perkataan guru yang menyuruh mereka duduk.
            Aku ikut berdesakan di jendela. Mataku membelalak ketika melihat anak-anak dengan lambang sekolah lain di lengan baju mereka saling serang dengan anak-anak dari sekolahku. Mereka saling berteriak, adu hantam, dan menjegal satu sama lain. Semua orang mulai panik dan menjerit-jerit.
“Tawuran!”
“Ada tawuran, ya ampun!”
“Astaga!”
            Melalui jendela, aku dapat melihat anak-anak dengan sorot mata ketakutan mengintip dari jendela kelas lain. Mereka saling adu pandang dengan panik. Tak ada seorang pun yang berani keluar, bahkan guru-guru sekalipun. Aku bisa saja mengintip di jendela lebih lama lagi, namun sebuah batu menghantam jendela di sampingku dan menyebabkan kacanya pecah berhamburan. Anak-anak menjerit. Aku mundur, berusaha menghindari pecahan kaca di lantai.
“Menjauh dari jendela!” Ibu Dian, guru Geografi di kelasku berteriak.
            Semua orang menjauhi jendela dan merapat ke ujung ruangan. Aku terdorong-dorong oleh anak-anak yang ketakutan hingga aku terhimpit di dinding. Lalu sekonyong-konyong aku terkesiap.
“Fahri!” jeritku.
            Aku menyikut setiap orang yang menghalangi jalan sambil memanggil Fahri dengan kalut. Dimana Fahri? Pikirku dengan panik. Beberapa anak lelaki sedang mengganjal pintu dengan meja dan kursi. Sebagian yang lain berusaha menutupi jendela yang pecah sementara anak-anak perempuan saling berhimpitan dan menangis. Tapi dimana Fahri?
            Akhirnya aku menemukannya. Fahri sedang meringkuk di belakang meja guru sambil menutupi kedua telinganya dengan tangan. Matanya terpejam. Aku berlutut di depannya.
“Fahri?”
Fahri bergidik. Ia menepis tanganku.
“Tidak apa-apa.” Kataku lembut. Aku setengah mati membuat suaraku sedatar mungkin dan menekan rasa panik yang membuatku ingin ikut-ikutan menjerit seperti kawan-kawanku. “Ini aku. Semuanya akan baik-baik saja.”
Fahri terisak. Aku duduk di sampingnya dan mengusap pundak Fahri. Aku menelan ludah. “Fokus pada suaraku, Fahri. Abaikan yang lain. Fokus padaku.”
Fahri menundukkan kepalanya semakin dalam.
“Kita aman disini, Fahri. Jangan takut. Semua akan baik-baik saja.”
            Aku merangkul pundaknya. Aku tak tahu lagi berapa lama kami berdiam diri seperti itu hingga akhirnya polisi datang untuk mengamankan sekolah dan orang tua Fahri datang menjemput.

***

            Berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan semenjak peristiwa tawuran itu, murid-murid masih saja ramai membicarakannya. Polisi memeriksa dan mewawancarai nyaris semua penghuni sekolah, mulai dari kepala sekolah, guru, satpam, hingga bibi kantin. Fahri sendiri perlu beberapa hari untuk memulihkan diri, namun sekarang ia sudah baik-baik saja.
            Aku dan teman-temanku sedang duduk-duduk di depan kelas. Sesekali aku menengok Fahri yang sedang duduk rapi sambil membaca buku di dalam kelas.
“Gia, kamu mau ikut hari ini?” tanya Vera.
“Kemana?” tanyaku.
“Ke mall. Kamu satu-satunya yang paling jarang ikut jalan-jalan, lho.”
“Siapa saja yang ikut?” tanyaku lagi.
“Yah, biasa lah, cuma kita-kita saja.” Jawab Dhea.
“Cowok tidak boleh ikut.” Tambah Lisa.
            Jalan-jalan khusus cewek-cewek? Hmm, aku tidak ingat kapan terakhir kali aku melakukannya. Kedengarannya asyik juga. Lagipula aku bosan setengah mati di rumah.
“Boleh, deh. Kapan?” tanyaku.
“Nah, gitu dong! Pulang sekolah langsung, ya?”
“Oke!”
            Saat pulang sekolah, seperti biasa aku menunggu Fahri di depan sekolah. Sepulang sekolah ia memang sering mampir dulu di perpustakaan. Aku bersandar di gerbang sambil meminum es kelapa.
“Ayo, Gia. Kamu jadi ikut, kan?” panggil Vera.
“Aku menunggu Fahri dulu.” Jawabku. “Sebentar lagi mungkin dia muncul. Aku harus bilang kalau hari ini tidak bisa pulang bareng dia.”
Lisa melambaikan tangannya. “Ya ampun, sudah deh. Dia kan sudah besar. Lagian, aku sudah memberi tahunya tadi siang kalau kamu mau ikut kami jalan-jalan.”
Aku memandangnya tidak percaya. “Yang benar?”
“Sumpah!” Lisa mengacungkan dua jarinya.
“Ya, sudah. Ayo, pergi.”
            Dan aku memang bersenang-senang siang itu. Rasanya luar biasa bisa menghabiskan waktu dengan teman-teman perempuan, tertawa-tawa, melihat-lihat baju, dan makan-makan. Kami mengobrolkan banyak hal dan tertawa lepas hingga perut kami sakit. Setelah puas berkeliling, kami mampir di salon. Aku merasa canggung karena terakhir kali aku ke sini sudah lama sekali. Namun ada satu hal yang benar-benar kunikmati. Pijatan di kepala!
            Menjelang sore, barulah kami pulang ke rumah masing-masing. Aku turun dari angkot di depan komplek rumahku dan mulai berjalan. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Aku mengambilnya dari saku dan melihat layar. Ternyata Ibunya Fahri. Aku mengangkatnya.
“Halo, Tante.” Sapaku.
“Gia? Fahri ada sama kamu?”
Aku berhenti berjalan. Apa maksudnya? Bukannya Fahri sudah pulang?
“Apa?” aku nyaris memekik.
“Fahri ada sama kamu, kan? Soalnya tante pulang kerja tapi rumah masih kosong, jadi tante pikir Fahri pasti mampir di rumahmu, iya kan?”
Aku nyaris ambruk di tengah jalan. Aku menelan ludah. “I-iya, tante. Fahri ada disini, kok.”
Terdengar desahan lega. “Oh, ya sudah. Tante sudah khawatir duluan.”
“Hehe. Iya tante.”
“Ya sudah kalau begitu. Bilang sama Fahri jangan pulang terlalu malam, ya.”
“Siap, tante.” Sahutku lemah.
“Oke. Terima kasih ya, Gia.”
            Ponselku terlepas dari peganganku. Aku memungutnya lagi dengan gemetar dan mulai berlari. Aku memacu langkahku secepat mungkin. Ya Tuhan, dimana Fahri? Aku buru-buru membuka pagar rumahku dan menyerbu masuk ke dalam.
“Ibu, Fahri ada disini?” tanyaku nyaris berteriak.
Ibuku yang sedang membaca majalah terlonjak kaget. “Eh, kamu sudah pulang? Ucap salam dulu, dong.”
“Fahri ada disini!?” jeritku.
“Tidak ada. Memangnya kenapa?”
Aku merasakan air mulai menggenang di pelupuk mataku saat aku kembali memacu langkah. Aku memeriksa taman, perpustakaan daerah, kedai es krim, dan semua tempat yang sering kukunjungi bersama Fahri. Namun ia tak ada di manapun. Aku setengah sadar sedang menangis terisak-isak dan praktis membuat semua orang yang kusikut mengumpat marah.
            Aku berhenti untuk mengatur napas dan menjernihkan pikiran. Kira-kira dimana Fahri berada saat ini? Toko buku? Tempat les? Sekolah? Aku tersentak. Ya, tentu saja. Sekolah. Aku kembali berlari secepat yang kubisa. Ikat rambutku terlepas entah dimana dan keringat membanjir menuruni pelipis dan leherku. Tapi sungguh aku tidak peduli. Yang kupedulikan saat ini hanyalah Fahri.
“Setidaknya aku tak perlu terlalu khawatir karena Fahri punya malaikat pelindung di sisinya.”
            Suara Kak Reyna tiba-tiba membayang. Aku terisak dan berpikir dengan getir, malaikat pelindung macam apa yang dengan cerobohnya kehilangan orang yang harus dilindunginya?
            Dan disanalah ia, sedang duduk menyandar di tembok pagar sekolah sambil membaca buku. Aku berhenti berlari, membungkuk, berusaha mengatur napas, dan tersedak air mataku sendiri. Aku merapikan rambut dan bajuku, lalu berjalan pelan mendekatinya.
“Fahri?”
Ia mendongak. “Hai.”
Aku duduk di sampingnya. “Kamu baca apa?”
Ia mengangkat novelnya sehingga aku bisa membaca judulnya. “Kelihatannya asyik.” Aku menarik napas panjang. “Kamu sedang apa disini, Fahri?”
Ia tersenyum. “Kau orang ketiga yang menanyakan itu padaku hari ini.”
Aku mengangkat alis. “Oh ya? Siapa yang pertama dan kedua?”
“Yang pertama Mang Ujang.” Ia menunjuk Mang Ujang, penjaga sekolah kami yang sedang berjaga di pos satpam. Mang Ujang mengangguk padaku. Aku tersenyum.
“Yang kedua?” tanyaku.
“Mereka.” Fahri menunjuk dinding di sebelahnya.
            Koloni semut merah sedang berbaris di sepanjang dinding itu. Mereka berurutan membentuk satu baris yang panjang. Mereka saling tertib dan tidak mencoba mendahului satu sama lain. Aku tersenyum.
 “Mereka sedari tadi menatapku dengan curiga.” Kata Fahri.
“Oh, ya?”
“Mereka bertanya apa yang sedang kulakukan disini.”
“Lalu kamu jawab apa?” tanyaku.
Fahri menunduk malu. “Kujawab aku sedang menanti… menanti…”
“Menanti siapa?” tanyaku lembut.
“Menanti Gia.” Jawabnya lirih.
Jika orang lain yang menggunakan salah satu lagu Obbie Messakh itu untuk mengatakan hal yang sama dengan yang Fahri coba lakukan, aku pasti sudah menonjoknya. Tapi ini Fahri. Aku ingin tertawa, berteriak, menangis, dan melompat-lompat pada saat yang bersamaan.
“Ya ampun, Fahri… Kenapa tidak langsung pulang saja?”
“Aku takkan pernah meninggalkanmu, Gia. Kita pulang bersama-sama, kan? Aku tidak mau pulang tanpamu.”
Dan dengan perkataan itu, tangisku pun kembali pecah.

***

Liputan Tujuh Belasan

Banjarbaru, Kamis, 17 Agustus 2017             Kamis kemarin, aku dan papahku keliling Banjarbaru untuk berburu foto-foto perayaan tuj...